Thursday 24 September 2020

Riba: Hukum dan Bahayanya

Istilah riba sepertinya sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat di Indonesia, terutama semenjak sudah semakin banyaknya masyarakat yang belajar dan memahami mengenai Agama Islam secara lebih mendalam. Pada umumnya istilah riba sering kita dengar pada bunga yang diberikan dalam kegiatan peminjaman uang atau pada bank konvensional. 

ARTI RIBA
Sebelum membahas mengenai jenis riba, kita harus mengetahui pengertian dari riba itu sendiri. Riba menurut bahasa berarti ziyadah (tambahan) tau nama’ (bekembang). Menurut Yusuf al-Qardawi, setiap pinjaman yang mensyaratkan didalamnya tambahan adalah riba.


Menurut Qadi Abu Bakar ibnu Al Arabi dalam bukunya “Ahkamul Quran” menyebutkan defenisi riba adalah setiap kelebihan antara nilai barang yang diberikan dengan nilai barang yang diterimana. Dan jika dibuat lebih sederhana, riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan ajaran islam.

Pada dasarnya islam melarang seorang muslim untuk memakan riba, hal ini seperti yang tercantum di dalam surat Al-Baqarah ayat 278 yang artinya:

“Hai orang –orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu orang yang beriman” (Q.S. Al Baqarah: 278) 

Allah melarang seseorang memakan riba dikarenakan akan diberikannya siksaan yang amat pedih bagi orang-orang yang memakan riba. Hal ini sudah disampaikan oleh Firman Allah dalam Al-Quran salah satunya di dalam surat An-Nisa ayat 161, yaitu:

“Dan disebabkan karena mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami menyediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang amat pedih” (Q.S An-Nisa: 161)

Berdasarkan beberapa sumber yang saya baca, secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua yaitu riba hutang piutang dan riba jual beli, dimana masing-masing kelompok memiliki pembagian jenis ribanya tersendiri.

JENIS RIBA HUTANG PIUTANG (RIBA AD-DUYUN)

1. Riba Jahiliyah
RIba ini terdapat pada hutang yang dibayar melebihi dari pokoknya, hal ini dikarenakan si peminjam tidak mampu untuk membayarnya pada waktu yang telah ditetapkan. Adapun penambahan hutang yang dibayarkan akan semakin bertambah besar bersamaan dengan semakin mundurnya waktu pelunasan hutang. Sistem ini dikenal juga dengan istilah riba mudha’afah (melipatgandakan uang).

Contohnya: Fulan meminjam uang dengan Fulana sebesar Rp 500.000  dengan tempo dua bulan. Saat  waktunya tiba Fulana meminta uang yang dipinjam, akan tetapi Fulan berkata bahwa ia belum dapat membayar uang yang dipinjam dan meminta waktu tambahan satu bulan. Fulana menyetujui dengan memberikan syarat bahwa uang yang harus dibayar menjadi Rp 560.000. Penambahan jumlah tersebut termasuk kategori Riba Jahiliyah.

2. Riba Qardh
Riba jenis ini memiliki pengertian adanya manfaat yang disyaratkan oleh pemilik dana kepada yang berhutang.

Contohnya: Fulan ingin meminjam uang kepada Fulana sebesar Rp 500.000.  Fulana menyetujui namun dengan syarat ketika Fulan hendak mengembalikan uang, maka uang yang harus dikembalikan Fulan adalah sebesar Rp 550.000. Kelebihan Rp 50.000 tersebut termasuk kedalam Riba Qardh.

JENIS RIBA JUAL BELI (RIBA AL-BUYU’)

1. Riba Nasi’ah
Riba jenis ini memiliki pengertian yaitu adanya penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan barang ribawi lainnya. Riba ini muncul dikarenakan adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

Contohnya: Fulana membeli dan mengambil emas seberat 3 gram pada bulan ini, akan tetapi uangnya diserahkan pada bulan depan. Hal ini termasuk kedalam riba Nasi’ah, hal ini dikarenakan harga emas pada bulan ini belum tentu dan pada umumnya akan berubah di bulan depan.

2. Riba Fadhl
Riba Fadhl memiliki pengertian apabila terjadi pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan termasuk kedalam barang ribawi.

Contoh: Seseorang menukarkan 10 gram emas  (jenis 916) dengan 12 gram emas (jenis 750). Pertukaran seperti ini tidak diperbolehkan, walaupun jenis 750 lebih berat dibandingkan jenis 916. Hal ini dikarenakan sebaiknya dalam pertukaran keduanya memiliki berat timbangan dan jenis yang sama.

Bahaya Riba Dalam Kehidupan

Mengingat begitu tegas bagaimana Allah telah mengharamkan riba, itu karena ada beberapa bahaya di dalamnya, di antaranya:

1. Hilangnya keberkahan pada harta
Allah berfirman:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
Artinya: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.” (QS Al-Baqarah [2]: 276).

2. Orang yang berinteraksi dengan riba akan dibangkitkan oleh Allah pada hari kiamat kelak dalam keadaan seperti orang gila.

Firman Allah:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ…..
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila…..” (QS Al-Baqarah [2]: 275).

3. Orang yang berinteraksi dengan riba akan disiksa oleh Allah.

Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, menceritakan tentang siksaan Allah kepada para pemakan riba, bahwa “Ia akan berenang di sungai darah, sedangkan di tepi sungai ada seseorang (malaikat) yang di hadapannya terdapat bebatuan, setiap kali orang yang berenang dalam sungai darah hendak keluar darinya, lelaki yang berada di pinggir sungai tersebut segera melemparkan bebatuan ke dalam mulut orang tersebut, sehingga ia terdorong kembali ke tengah sungai, dan demikian itu seterusnya.”. (HR Bukhari).

4. Allah tidak akan menerima shadaqah, infaq dan zakat yang dikeluarkan dari harta riba.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu maha baik dan tidak akan menerima sesuatu kecuali yang baik.” (HR Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).

5. Do’a pemakan riba tidak akan dikabulkan Allah.

Di dalam hadits shahih, Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan:
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ».
Artinya: Bahwa ada seseorang yang melakukan safar (bepergian jauh), kemudian menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa, “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku!” Akan tetapi makanan dan minumannya berasal dari yang haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan oleh barang yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan (oleh Allah)?”. (HR Muslim).

6. Memakan harta riba menyebabkan hati menjadi keras dan berkarat.

Allah berfirman di dalam ayat:
كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Artinya: “Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS Al-Muthaffifin [83]: 14).

7. Badan yang tumbuh dari harta haram berhak disentuh api neraka.

Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
Artinya: “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram, akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR At-Tirmidzi).

8. Orang yang berinteraksi dengan riba dilaknat Allah dan Rasul-Nya.

Hal ini berdasarkan hadits:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Artinya: Dari Jabir Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Beliau melanjutkan, “Mereka semua sama (kedudukannya dalam hal dosa)”. (HR Muslim).


9. Memakan riba lebih buruk dosanya daripada zina.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً
Artinya: “Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui bahwa yang didalamnya adalah hasil riba, dosanya itu lebih besar daripada melakukan perbuatan zina sebanyak tiga puluh enam kali.” (HR Ahmad dan Al-Baihaqi).

10. Paling ringan dosa riba seperti menzinai ibu kandung sendiri.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
Artinya: “Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

Penutup
Mengingat begitu dahsyatnya bahaya riba bagi kehiudpan seorang Muslim, baik di dunia apalagi di akhirat, maka sudah seharusnya kita berupaya meninggalkannya semaksimal mungkin

Akhlak Mulia Dan Pengaruhnya Terhadap Diterimanya Amalan


Setiap orang beriman harus selalu memperhatikan akhlaq pribadinya. Jangan sampai sikapnya, perkataan dan perbuatannya menyakiti orang lain. 

Sungguh Rasulullah diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak.

Kenapa mukmin harus memperhatikan akhlaknya? Ternyata Islam menposisikan akhlak ini pada posisi yang sangat tinggi. Bahkan akhlak mulia sama bahkan lebih tinggi posisinya daripada ibadah, puasa di siang hari dan qiyamullail. Pun ternyata akhlak sangat berhubungan dengan amal ibadah yang kita lakukan. Dimana akhlak yang tidak baik yang membuat orang lain tersakiti akan membuat amal seseorang tersebut tidak diterima oleh Allah SWT.

Mari kita lihat dalil-dalil berikut!

أَبِي يَحْيَى مَوْلَى جَعْدَةَ ، قَالَ : سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ ، يَقُولُ : " قِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ فُلَانَةَ تُصَلِّي اللَّيْلَ ، وَتَصُومُ النَّهَارَ ، وَفِي لِسَانِهَ شَرٌّ تُؤْذِي جِيرَانَهَا سَلِيطَةٌ ، قَالَ : لَا خَيْرَ فِيهَا ، هِيَ فِي النَّارِ . وَقِيلَ لَهُ : إِنَّ فُلَانَةَ تُصَلِّي الْمَكْتُوبَةَ ، وَتَصُومُ رَمَضَانَ ، وَتَتَصَدَّقُ ، وَلَيْسَ لَهَا شَيْءٌ غَيْرُهُ ، وَلَا تُؤْذِي أَحَدًا ، قَالَ : هِيَ فِي الْجَنَّةِ " .
(البر والصلة لابن الجوزي)

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه".
(رواه البخاري)


Sunday 13 September 2020

حمدون بن أحمد بن عمارة القصّار النيسابوري

 حمدون بن أحمد بن عمارة القصّار النيسابوري

أبو صالح حمدون بن أحمد بن عمارة القصّار النيسابوري، أحد علماء أهل السنة والجماعة ومن أعلام التصوف السني في القرن الثالث الهجري، مؤسس الطريقة الملامتية الصوفية، وصفه الذهبي بأنه "شيخ الصوفية". كان عالماً فقيهاً على مذهب سفيان الثوري. توفي سنة 271 هـ في نيسابور ودفن في مقبرة الحيرة.

 

شيوخه وتلاميذه

سمع من محمد بن بكار بن الريان، وابن راهويه، وأبا معمر الهذلي. وصحب أبا تراب النخشبي وأبا حفص النيسابوري. روى عنه ابنه الحافظ أبو حامد الأعمشي ومكي بن عبدان، وأبو جعفر بن حمدان، وآخرون.

 

من أقواله

استعانة المخلوق بالمخلوق كاستعانة المسجون بالمسجون

لا يجزع من المصيبة، إلا من اتهم ربه

من رايت فيه خصلة من الخير فلا تفارقه فإنه يصيبك من بركاته

قيل لحمدون بن أحمد: "ما بال كلام السلف أنفع من كلامنا، قال: لأنهم تكلموا لعز الإسلام، ونجاة النفوس، ورضا الرحمن، ونحن نتكلم لعز النفوس، وطلب الدنيا، ورضا الخلق